Kamis, 10 Januari 2013

JENDERAL MUSANIF RYACUDU

Rumah Ryacudu di Mesir Ilir Waykanan Lampung


Menengok Kampung Mayjen Ryacudu
NAMA Mayjen Ryacudu menjulang di Lampung. Apabila kampungnya, Mesirilir, disebut, penduduk Lampung juga langsung tune in. Namun, kampung Sang Jenderal ternyata tak semegah namanya.
Ketika mengetik kata Mesirilir di mesin pencari lokasi Google Maps, nama itu tidak dikenal di tempat mana pun. Nama yang terdekat adalah Bahuga, kota kecamatan yang menaungi Kampung Mesirilir.

Melihat peta Bahuga, tergambar posisi yang jauh dari jalan utama. Jalur berwarna abu-abu yang menggambarkan jalur kecil juga kurang detail, sehingga untuk menuju kampung Sang Jenderal di Mesirilir, Kecamatan Bahuga, Way Kanan, informasi informal menjadi lebih utama.

Untuk saat ini, nyaris tidak ada pilihan terbaik mengakses Mesirilir dari Bandar Lampung. Lintasan paling lazim adalah lewat Way Tuba, Way Kanan, yang menyempal dari jalinsum hanya berjarak 48 km. Namun, jalan provinsi dari jalinsum sampai ke lokasi rusak parah, sehingga untuk menempuh 48 km itu dibutuhkan 3 jam. Itu pun jika tidak kepater atau gardan nyangkut.

Jarak paling dekat adalah lintas Kotabumi, Negararatu, Pakuanratu, sampai ke Mesirilir. Jalur ini potensial secara sosial ekonomi, tetapi pemerintah belum melirik untuk menjadi jalur pertumbuhan. Jika memilih jalur ini, spidometer tidak boros angka, tetapi bahan bakar dan waktunya jauh lebih royal. Dengan melewati hutan belukar, kebun karet, dan sawit, perjalanan memakan waktu sembilan jam untuk sampai ke Bandar Lampung.

Pilihan bijak adalah lewat provinsi tetangga, Sumatera Selatan. Perjalanan di jalinsum harus sengaja dibablaskan hingga Martapura, mengambil arah Belitang, masuk Bendungan Komering Perjaya, dan mengikuti tanggul irigasi yang memisahkan air ke arah Bahuga. Jalan mulus terus di atas tanggul, tetapi sempit.

Baru, setelah turun tanggul, perjalanan sekitar satu jam melintasi belukar dan kebun karet rakyat dan tebu serta sawit perkebunan swasta, sampailah di Bahuga. Ada penanda berupa tugu batas provinsi yang dibangun Pemkab Way Kanan di tengah belukar. Sayang, bangunan yang masih gress dengan keramik dan tulisannya itu sudah mberodol di hampir semua sisinya.

Praktis, tidak ada pilihan menarik untuk hadir di kampung Sang Jenderal ini. Padahal, selain jasa Mayjen Ryacudu yang tercatat sebagai pahlawan nasional, dia adalah tokoh perjuangan Lampung, dan namanya pun diabadikan untuk rumah sakit, monumen, dan nama jalan di hampir semua kota di Lampung. Selain itu, nama putra-putrinya juga berkibar dalam karier.

Ada Ryimizard yang pernah menjadi kasad, ada Syamsurya yang pernah menjadi wakil gubernur untuk kemudian menjadi gubernur Lampung meskipun hanya semester pendek, ada Ryamur sebagai pengusaha, dan lain-lain. Nama-nama itu nyaris tak menolong infrastruktur jalan untuk mengakses Mesirilir.

Wajar jika Bahuga tak ada gemanya sebagai kota kecamatan, terlebih setelah dipecah menjadi tiga. Saat Lampung Post menyinggahi di kantor camat, Rabu (23-6), sekitar pukul 10.30, hanya ada tiga pegawai sedang asyik mengobrol.

Tak ada camat, tak ada warga yang butuh layanan, tak ada juga tanda-tanda aktivitas pemerintahan. Meskipun demikian, bendera merah putih tetap berkibar deras di halaman kantor yang lengang.

Untuk memasuki Kampung Mesirilir kami diantar Hifni, seorang pamong yang juga staf kecamatan. Rasa etnik Lampung memang begitu terasa. Pedukuhan yang berada di pinggir Way Umpu itu masih arif dengan arsitektur rumah aslinya yang panggung dengan kayu warna alam.

Satu jembatan gantung sepanjang 120 meter menjadi penguat rasa kampung etnik itu meskipun sejak 2005, jembatan hanya menjadi ornamen karena sudah dibangun jembatan baja sekitar 150 meter di bagian atas.

Menilik rumah keluarga Mayjen Ryacudu tidak terlalu istimewa. Hunian yang menjadi wasiat keluarga seluas 20 x 40 meter ini agak berbeda dengan tetangganya. Tak ada lagi beranda balkon tempat kongko-kongko penghuninya saat sore atau pagi hari sambil menyeruput kopi.

Fungsi balkon itu digantikan gazebo besar di sisi kanan bangunan yang terhubung dengan ruang tamu. Gubuk terbuka dengan panggung rendah berlantai papan itu disebut peranginan. “Ini tempat musyawarah-musyawarah adat dilakukan,” kata Hanafi, keponakan menantu Ryacudu yang merawat dan menunggu rumah itu.

Atmosfer rumah adat peninggalan seorang prajurit tampak kental di rumah yang dipugar pada 1985 ini. Memasuki ruang tamu rumah kayu itu, foto Jenderal Soeharto yang mulai lapuk terpampang tegar. Selain foto Mayjen Ryacudu, juga hadir foto Jenderal Ahmad Yani di ruang itu. “Entah, mengapa foto Pak Yani yang dipasang di sini. Mungkin dia atasannya kali,” kata Hanafi. Satu foto lagi dalam ukuran besar adalah foto Mayjen Ryacudu dengan pakaian tempur TNI.

Barang-barang tua yang ditinggalkan keluarga Ryacudu masih terawat dan tertata apik. Foto Ryacudu yang bersanding dengan Nur’aini, istrinya, menjadi pemandu untuk sembilan foto lainnya di barisan bawah.


Sembilan anak Ryacudu itu adalah Ryamizard, Ryamur, Nuhsin, Ida, Syamsurya, Krisna Murti, Hery, Irawan, dan Ryana. “Mereka semua tidak ada yang tinggal di sini,” kata Hanafi yang asli Cianjur ini.

Meskipun tidak ada yang tinggal di Mesir ilir, tiga kamar masih tersedia dan siap menjadi “bilik rindu” anak-anak Ryacudu jika berkunjung. Bahkan, kamar sang ayah yang berada di bilik luar bagian kiri masih dirawat dengan baik. “Tapi tidak setahun sekali mereka menginap. Paling-paling Meli (Ryamur) yang masih sering ke sini. Ryamizard masih kadang-kadang,” ujar Hanafi.

Kilau Kampung Mesir ilir memang menggema sampai ke sudut Lampung. Namun, derap pembangunan di tanah Sang Jenderal ini tidak beranjak dari keterbelakangan. Bahkan, stigma sebagai kampung yang sebaiknya tidak usah dilewati cukup kental melekat. (SUDARMONO)


Sumber: Lampung Post, Minggu, 26 Juni 2011